
Akhir-akhir ini, kita makin sering mendengar orang berkata,
“Aku kayaknya punya anxiety deh.”
“Kayaknya aku bipolar.”
“Mood swing aku parah, jangan-jangan aku BPD.”
Kalimat-kalimat seperti itu terasa familiar, terutama di media sosial. Banyak konten psikologi yang tersebar di TikTok, Instagram, bahkan YouTube. Satu sisi, ini adalah hal positif: kesadaran tentang mental health semakin meningkat. Tapi di sisi lain, ini bisa jadi pisau bermata dua—karena muncul satu kebiasaan yang tidak selalu sehat: self-diagnose, atau mendiagnosis diri sendiri.
Apa Itu Self-Diagnose?
Secara sederhana, self-diagnose adalah tindakan seseorang yang menyimpulkan bahwa dirinya mengalami gangguan kesehatan mental tertentu berdasarkan informasi yang ia dapatkan sendiri—baik dari internet, media sosial, buku, atau pengalaman orang lain—tanpa melalui proses evaluasi profesional.
Contohnya:
- Seseorang merasa sedih dan kehilangan semangat selama seminggu, lalu menyimpulkan ia mengalami depresi klinis.
- Seseorang merasa cemas dalam pergaulan, dan langsung berpikir ia mengalami gangguan kecemasan sosial.
Padahal, dalam dunia psikologi, diagnosis bukanlah hal yang sederhana. Seorang profesional akan melihat banyak aspek—gejala, durasi, dampak terhadap fungsi hidup, serta riwayat pribadi—sebelum sampai pada satu kesimpulan.
Kenapa Kita Mudah Tergoda Melakukan Self-Diagnose?
Ada beberapa alasan mengapa self-diagnose makin umum:
1. Akses Informasi yang Sangat Luas
Hari ini, cukup dengan menonton 5 menit video atau baca 1 thread Twitter, seseorang bisa merasa “kenal” dengan suatu gangguan psikologis. Tapi sayangnya, konten tersebut sering kali tidak lengkap, tidak akurat, atau terlalu disederhanakan.
2. Kebutuhan untuk Memahami Diri
Ketika kita merasa ada yang tidak beres dalam diri, kita ingin tahu “kenapa”. Memberi label pada apa yang kita rasakan bisa terasa melegakan. Kita merasa ada “penjelasan” yang logis.
3. Stigma terhadap Konsultasi Psikolog
Masih banyak yang ragu untuk konsultasi karena merasa malu, takut dianggap “lemah”, atau khawatir dinilai “gila”. Maka, self-diagnose terasa seperti alternatif yang lebih aman dan praktis.
Apa Bahayanya Self-Diagnose?
Meski terlihat sepele, self-diagnose bisa membawa beberapa risiko serius:
1. Salah Memahami Gejala
Banyak gangguan mental memiliki gejala yang mirip. Misalnya, seseorang yang mengalami burnout bisa terlihat mirip dengan orang yang mengalami depresi. Salah menyimpulkan bisa menyebabkan kita mengambil langkah yang salah—baik dalam pengobatan, pengambilan keputusan, hingga pola pikir terhadap diri sendiri.
2. Label yang Terlalu Cepat
Mendeklarasikan diri dengan label “aku ADHD” atau “aku bipolar” tanpa evaluasi bisa membentuk identitas palsu. Padahal, belum tentu diagnosis tersebut benar. Ini bisa membuat seseorang merasa terbatas, padahal sebenarnya ada potensi untuk tumbuh dan pulih lebih baik.
3. Mengabaikan Masalah yang Lebih Dalam
Terkadang, dengan self-diagnose, kita jadi fokus pada “label” dan lupa menggali penyebab yang sebenarnya. Misalnya, seseorang merasa punya gangguan kecemasan padahal ternyata masalah utamanya adalah trauma masa lalu yang belum disadari.
4. Menghambat Proses Bantuan Profesional
Self-diagnose yang terlalu kuat bisa membuat seseorang “menutup pintu” untuk eksplorasi yang lebih mendalam bersama profesional. Ia sudah yakin bahwa diagnosisnya benar, sehingga tidak terbuka untuk masukan lain.
Kapan Saatnya Mencari Bantuan Profesional?
Tidak semua perasaan sedih, cemas, atau bingung berarti kita mengalami gangguan psikologis. Tapi jika kamu mengalami hal-hal berikut ini, ada baiknya mulai mempertimbangkan konsultasi:
- Perasaan itu berlangsung lebih dari 2 minggu dan tidak membaik
- Mengganggu aktivitas harian (pekerjaan, sekolah, relasi)
- Menimbulkan keinginan menyakiti diri atau putus asa
- Membuat kamu merasa terasing dari diri sendiri atau dunia sekitar
Profesional seperti psikolog atau psikiater punya pendekatan yang terukur dan komprehensif untuk membantu kamu memahami apa yang sebenarnya kamu alami.
Bagaimana Cara Menyikapi Informasi Mental Health di Internet?
Berikut beberapa tips untuk tetap bijak:
- Gunakan informasi sebagai bahan eksplorasi, bukan sebagai alat diagnosis.
- Jangan buru-buru memberi label pada diri sendiri.
- Tanyakan: “Apakah informasi ini dari sumber terpercaya?”
- Jika merasa relate dengan sesuatu, jadikan itu sinyal untuk eksplorasi lebih lanjut bersama profesional.
Kamu Bukan Sendirian, Tapi Kamu Butuh Pendampingan yang Tepat
Mencoba mengenal diri sendiri adalah hal yang baik. Tapi, jangan lupa—kita tidak selalu bisa menilai diri secara objektif. Kita butuh cermin, dan salah satu cermin terbaik adalah bantuan profesional.
Jika kamu merasa ada yang tidak seimbang dalam hidupmu, jangan takut untuk bicara. Alma Care hadir untuk mendengarkan dan membantu kamu menavigasi jalan ini dengan lebih tenang dan jelas.
Tidak semua yang kamu rasakan harus kamu tanggung sendiri.
Tidak semua yang kamu alami harus kamu simpulkan sendiri.
Ada jalan untuk mengerti, dan ada tangan untuk menemani.